Rabu, 06 April 2011

PENDIDIKAN BERBASIS DIALOG

Perkembangan pendidikan remaja saat ini telah memasuki masa dimana terjadi pertentangan antara traditional value dengan modern value. Nilai - nilai tradisional yang sudah melekat ke dalam ruh budaya bangsa saat ini telah menjadi barang yang teramat murah bagi remaja saat ini, mereka memandang bahwa sekarang adalah masanya anti kemapanan, anti peraturan "Semakin diatur semakin menjadi pemberontak".
Hal ini sebenarnya bukanlah barang baru bagi psikologi perkembangan. Pakar psikologi perkembangan mengemukakan bahwa remaja masih belum dapat meninggalkan cara berpikir kognitif anak - anak yaitu kecenderungan berpikir egosentrisme. Yang dimaksud dengan egosentrisme adalah "ketidakmampuan melihat dari sudut pandangn orang lain", yang menurut Elkind disebut sebagaiu personal fabel.
Personal fabel adalah  "suatu cerita yang kita katakan pada diri kita sendiri mengenai diri kita sendiri, tetapi [cerita] itu tidaklah benar" . Kata fabel berarti cerita rekaan yang tidak berdasarkan fakta, biasanya dengan tokoh-tokoh hewan. Personal fabel biasanya berisi keyakinan bahwa diri seseorang adalah unik dan memiliki karakteristik khusus yang hebat, yang diyakini benar adanya tanpa menyadari sudut pandang orang lain dan fakta sebenarnya. Papalia dan Olds (2001) dengan mengutip Elkind menjelaskan “personal fable” sebagai berikut :
“Personal fable adalah keyakinan remaja bahwa diri mereka unik dan tidak terpengaruh oleh hukum alam. Belief egosentrik ini mendorong perilaku merusak diri [self-destructive] oleh remaja yang berpikir bahwa diri mereka secara magis terlindung dari bahaya. Misalnya seorang remaja putri berpikir bahwa dirinya tidak mungkin hamil [karena perilaku seksual yang dilakukannya], atau seorang remaja pria berpikir bahwa ia tidak akan sampai meninggal dunia di jalan raya [saat mengendarai mobil], atau remaja yang mencoba-coba obat terlarang [drugs] berpikir bahwa ia tidak akan mengalami kecanduan. Remaja biasanya menganggap bahwa hal-hal itu hanya terjadi pada orang lain, bukan pada dirinya”.
Pendapat Elkind bahwa remaja memiliki semacam perasaan invulnerability yaitu keyakinan bahwa diri mereka tidak mungkin mengalami kejadian yang membahayakan diri, merupakan kutipan yang populer dalam penjelasan berkaitan perilaku berisiko yang dilakukan remaja (Beyth-Marom, dkk., 1993). Umumnya dikemukakan bahwa remaja biasanya dipandang memiliki keyakinan yang tidak realistis yaitu bahwa mereka dapat melakukan perilaku yang dipandang berbahaya tanpa kemungkinan mengalami bahaya itu.
Hal seperti inilah yang menyebabkan perilaku remaja terkadang dipandang oleh orang dewasa tidak memiliki sopan santun. karena sifat pemberontak ini merupakan peralihan menuju ke masa dewasa maka mau tidak mau para tenaga pendidik atau orang tua harus dapat bereksperimen untuk membuat perilaku remaja menjadi terkendali dan dapat diarahkan menjadi pribadi yang bertanggung jawab dan memiliki prinsip kehidupan.

Jembatan komunikasi
Dalam menghadapi karakter remaja ini harus ada solusi supaya menjadi berimbang. sebagai perbandingan bahwa apabila ada masalah dalam kondisi mental dan perilaku maka tentu akan ada terapi yang pas sebagai jawabannya. ini adalah beberapa hal yang harus dipenuhi apabila dialog dengan remaja yang kehilangan kendali atas dirinya dan menjadi semacam trouble maker bagi setiap orang yang berhubungan dengannya :

1. Komunikasi yang dibangun diatas pemahaman kepribadian agama, bangsa dan budaya
    suatu hal akan menjadi baik apabila seorang remaja menjadi paham akan kepribadian yang sebenarnya, se-
    hingga menjadi pandangan hidupnya. kepribadian agama adalah bagaimana seorang murid/pelajar/remaja 
    menjadi tahu antara hukum - hukum yang telah ditetapkan oleh agama dan berbagai peraturan lainnya. di-
    dalam kitab Tsalasatul Ushul karangan syaikh Muhammad Ibn Abdul Wahab dikatakan bahwa hal yang
    harus dipahami sebagai seorang muslim adalah a). berilmu tentang Allah, Rasul-Nya dan dalil - dalil agama;
    b). Mengamalkan Ilmu tersebut; c). Mendakwahkannya; d). bersabar dalam mengamalkan syari'at Islam.
    Itulah hal yang diperhatikan dalam menuntut seorang remaja untuk dapat berdialog dengan kita sebagai 
    konselor ataupun orang dewasa. Seorang remaja yang sudah paham akan ilmu agama maka dengan mudah
    untuk dapat diarahkan dan mengakui kesalahannya.
2. Komunikasi yang dibangun diatas tujuan masa depan
    Sigmund Freud dalam teori seksualnya mengemukakan bahwa setiap orang mengalami masa kecil yang 
    sangat berpengaruh bagi kehidupan dewasanya, mulai dari pengasuhan orang tua hingga kehidupan sekeli-
    lingnya akan mempengaruhi kehidupannya di kemudian hari. Oleh karena itu seorang remaja yang memiliki
    masalah dengan perilakunya maka sangat penting sekali untuk dilihat bagaimana latar belakang kehidupan-
    nya, setelah itu baru akan dibicarakan bagaimana bisa terlibat dengan masalah tersebut dan selanjutnya me-
    lihat bersama - sama manfaat dan mudharat yang disebabkan oleh perilaku yang merusak tersebut baru se-
    telah paham tentang manfaat dan mudharatnya, maka dibuatlah perjanjian - perjanjian yang bersifat kons-
    truktif atau constructive map tentang apa yang akan dilakukan ke depan.
3. Komunikasi dibangun diatas obyektifitas
    Biasanya tanpa kita sadari saat kita melihat seorang anak yang nakal maka akan kita cap nakal selamanya.
    Seorang remaja membutuhkan orang dewasa saat merasa lemah itulah rumusnya, maka saat itulah kita 
    membangun komunikasi yang interaktif dan penuh motivasi. obyektifitas semacam ini akan membuat seo-
    rang remaja merasa mempunyai teman dan sahabat yang dapat dijadikan sandaran. 
    (Aminudin Budi Kurniawan)


Itulah sekelumit wacana untuk gaya pendidikan yang harus dapat dibangun bangsa Indonesia ke depan....thanks..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar